Situasi lingkungan pasca banjir di daerah tanah rendah yang menyisakan lumpur dan genangan air (Foto: Dian Nur Salsabila / Jurnal Mahasiswa Jurnalistik)
Di bawah bayang-bayang ancaman air yang dapat meluap setiap saat, masyarakat harus berhadapan dengan ketidakpastian cuaca dan risiko terkena penyakit yang meningkat pasca banjir.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, warga tidak hanya harus mengatasi dampak fisik banjir yang merusak lingkungan dan materi, tetapi juga menghadapi potensi risiko kesehatan yang timbul akibat genangan air, limbah, dan kurangnya pasokan air bersih.
Inilah realitas yang melekat di daerah rawan banjir, di mana menjalani kehidupan sehat menjadi suatu perjuangan yang tak kenal lelah.
Seperti di kawasan pabrik mi, Jl. Kebon Pala II, Rt 13 Rw 04, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur. Jalan setapak yang sempit dipenuhi oleh bangunan-bangunan miring yang saling bersandar, membentuk koridor sempit yang seolah-olah enggan membiarkan cahaya matahari masuk.
Lingkungan yang terasa sesak ini dipenuhi oleh aroma campuran limbah dan kelembaban, menciptakan suasana yang menyengat di setiap sudut. Di sekitar sana, rumah-rumah seadanya dengan atap berlubang dan dinding yang rapuh menjadi tempat tinggal bagi banyak warga yang harus berbagi ruang terbatas.
Pada kondisi lingkungan seperti itu bakteri, virus, dan parasit lebih mudah untuk berkembang dan mencampur dengan sumber air bersih, menjadi pemicu bagi lonjakan kasus penyakit pernapasan, Gastrointestinal, dan penyakit kulit.
Ketua Rt 13, Sanusi mengkonfirmasi, saat ini terdapat 2 orang dewasa dan 1 orang balita terkena diare. “Kebanyakan gatal-gatal, tapi ada juga yang batuk dan diare,” kata Sanusi belum lama ini.
Tak hanya warganya saja, sang istri kini menjadi pasien rawat inap dengan penyakit lambung dan terinfeksi bakteri Salmonella Typhi yang menyebabkan tifus.
“Dari kemarin sore dirawat di Hermina Jatinegara. Awalnya kaya meriang, demam tapi naik turun,” tambahnya.
Dr. Rosmalia, salah satu tenaga dokter yang terdaftar di Lembaga Kemanusiaan Dompet Dhuafa mengatakan, bakteri penyebab tifus terdapat pada air dan makanan yang kurang bersih.
“Keluhan demam yang khas, dimulai dari sore kemudian pada malam hari bertambah naik, tinggi hingga menggigil. Baru pada pagi hari demam akan turun.”
Gejalanya meliputi kehilangan nafsu makan, diare, mual, dan ruam merah pada kulit. Untuk pengobatannya adalah dengan pemberian antibiotik dan obat penurun panas.
Selain itu, juju salah satu warga juga mengeluh terinfeksi bakteri pada kakinya. Rasa gatal dan perih bahkan membuatnya tidak bisa tidur dan susah berjalan. Hal ini ia rasakan setelah terpaksa melakukan kontak dengan air kotor saat banjir.
“Pertamanya terasa gremet, saya diemin lama-lama jadi merah, saya garuk terus. Pas dibawa ke puskesmas ternyata alergi air banjir,” ujar Juju.
Meskipun sudah diberikan obat, ia merasa tidak cocok dengan salep yang diresepkan oleh dokter bahkan area gatal tersebut semakin luas. Karena kecenderungan ingin cepat sembuh, juju kemudian mengganti salepnya dengan balsam.
“Biasanya saya kasih obat nyamuk soffel sembuh tapi malah ga mempan, akhirnya saya kasih balsem baru mendingan.”
Area yang dioleskan balsam akan terasa panas, namun juju justru merasa lebih nyaman dan bisa tidur dengan kondisi yang seperti itu. Kemudian area gatal mulai mengering pada keesokan harinya.
Warga kebon pala mengeluhkan gatal-gatal akibat bakteri yang terkandung pada air banjir yang menggenang di wilayahnya (Foto: Dian Nur Salsabila / Jurnal Mahasiswa Jurnalistik) |
Sebagai tenaga ahli kesehatan, Rosmalia menjelaskan, penggunaan salep dengan cara yang salah dapat memperluas area gatal. “Kita mengoleskannya ke arah dalam gitu. Boleh memutar seperti pusaran di labirin tapi ke arah dalam atau kita dari pinggir ke dalam.”
Jika dioleskan ke arah luar lingkaran gatal, bakteri akan keluar dari area tersebut dan menginfeksi jaringan bawah kulit di sekitarnya.
Warga sebenarnya sadar jika air banjir di daerahnya sangat kotor. Air tersebut berwarna coklat kehitaman bercampur dengan sampah dan lumpur, tak terkecuali kotoran hewan yang berbahaya seperti tikus.
Rosmalia mengatakan, terdapat sebuah penyakit khas yang biasanya terjadi pada keadaan banjir. Sudah tak asing lagi, namanya adalah leptospirosis. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira ini terkandung dalam urin tikus.
Proses penularan bakteri tersebut biasanya terjadi pada kulit yang terluka dan bagian tubuh yang terendam air kotor terlalu lama sehingga bakteri masuk melalui pori-pori. “Gejalanya berupa demam, sakit kepala, nyeri otot yang khas, serta mata yang merah dan berair.“
Sangat sulit bagi warga yang tinggal di daerah langganan banjir untuk menghindari kontak dengan air yang terkontaminasi urin tikus.
“Airnya kotor banget lumpurnya juga tebel, tapi mau gimana lagi kalo ga maksain kita gabisa makan,” ujar Juju. Namun bukan berarti tidak mungkin untuk meminimalisirnya “Bisa dicegah. Bagi warga yang akan melakukan aktivitas di air disarankan memakai sepatu bot,” jelas Rosmalia
Selain itu, kurangnya ketersediaan air bersih juga menjadi salah satu aspek paling kritis yang harus diatasi. Ketika air bersih menjadi langka dan tersedia dengan kualitas yang meragukan, masyarakat rentan terhadap penyakit seperti diare.
Hal ini juga dibenarkan oleh Rosmalia, penyakit yang umum dijumpai saat banjir adalah diare. Sayangnya diare sering kali dianggap biasa oleh warga, padahal jika tidak segera ditangani, diare akan menyebabkan tubuh kekurangan cairan atau dehidrasi.
Jika mengalami diare dan muntah yang berat maka diagnosisnya akan lebih spesifik, yaitu kolera. Penyakit kolera sendiri disebabkan oleh bakteri febrio kolera.
“Gejalanya itu kadang dirasakan muntah, kemudian ada rasa nyeri sampai kelelahan seperti itu. Ada juga yang mengalami dehidrasi, yaitu kekurangan cairan akibat dari muntah dan diare itu sendiri,”: ujar Rosmalia.
Untuk mempercepat pemulihan, kuncinya adalah rehidrasi atau penambahan cairan dengan menggunakan oralit. Dalam oralit ini terdapat cairan elektrolit yang berguna untuk mengembalikan elektrolit yang hilang pada saat diare dan muntah.
Jika diare pada orang dewasa dianggap hal yang ringan, berbeda halnya dengan diare pada bayi. Pencernaan pada bayi lebih rentan dan cenderung mudah mengalami dehidrasi.
“Sedangkan, diare pada bayi kurang dari 6 bulan, maka pengobatan diare disarankan dengan pemberian ASI eksklusif,” tambahnya.
ASI mengandung zat kekebalan terhadap kuman penyebab diare dan kelenjar Montgomery di payudara, mengeluarkan zink yang berguna untuk membantu memperbaiki vili usus bayi yang rusak akibat diare.
Kemudian untuk bayi lebih dari 6 bulan ditambah dengan pemberian makanan seperti biasa sesuai usia anak dengan menghindari makanan yang mengandung serat tinggi, seperti daging dan sayuran hijau. Serta pemberian zinc selama 10 hari berturut-turut bertujuan mengurangi durasi dan keparahan penyakit.
Penyakit ini cukup sulit dihindari oleh warga yang tinggal di kawasan banjir. Sebab untuk upaya pencegahan sebenarnya dengan minum dan makan makanan yang bersih, mencuci buah - buahan dan sayuran dengan baik dan air yang mengalir.
Sangat kontras dengan keadaan warga yang sesungguhnya, sebab jangankan untuk mendapat air bersih, bisa makan saat banjir mengepung wilayahnya saja mereka sudah sangat bersyukur.
Kemudian apa yang harus dilakukan?
Apabila memang kondisinya seperti itu, bahwa air bersih sulit didapat, maka pengolahan makanan harus dilakukan secara benar.
“Semua jenis makanan harus dimasak dengan matang. Dan sebaiknya dihindarkan juga untuk makanan yang dibakar. Karena makanan yang dibakar agak sulit untuk menentukan tingkat kematangannya,” jelas Rosmalia.
Situasi lingkungan padat penduduk yang menjadi langganan banjir (Foto: Dian Nur Salsabila / Jurnal Mahasiswa Jurnalistik) |