Talkshow Festival Urban Farming Jakarta 2023 di Balaikota DKI Jakarta (Foto: Dian Nur Salsabila / Jurnal Mahasiswa Jurnalistik) |
Sebagai Duta Petani Milenial DKI Jakarta, Ahmad Rizal mengaku tidak puas dengan suplai bahan pangan seperti sayur dan buah-buahan dari kelompok tani di luar daerah. Tanaman hijau sebenarnya memiliki daya tarik bagi warga kota. selain daripada tanaman hias, buah dan sayur pun bisa menjadi kebanggaan tersendiri jika tumbuh subur di halaman rumah penduduk kota.
“Malahan, sebagian warga kota menyatakan bahwa tanaman ini, menanam itu adalah hiburan melepas penat ataupun stres, healing dan sebagainya dari kesibukan kami setiap hari di kota warga urban ini,” ungkap Rizal.
Selain menjadi Duta Petani Milenial, Sejak tahun 2019 Rizal telah konsen membudidayakan alpukat cipedak di Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Sampai saat ini telah lebih dari lima puluh ribu pohon yang berhasil tersebar dari pembibitannya. Sebelumnya, rizal juga telah menjadi petani tanaman herbal, seperti daun basil, mint, oleander, dan sebagainya.
“Jadi petani Jakarta ada kebanggaan di sendiri karena bisa dan uniknya lagi, satu hal yang nggak biasa itu malah menciptakan tren gitu. Kalau anak muda di daerah itu, umumnya bertani ya wajar karena dia secara besar itu lingkungan sekitar semuanya petani. Tapi kalau kita kan nggak, itu unik. Dan dari unik itu banyak liputan segala macem, banyak juga jadi public figure, public speaking dan juga personal branding,” ungkap Rizal.
Dengan adanya teknologi IOT (Internet of Thinks), petani kota seharusnya memiliki peluang besar untuk menggapai pasar dengan pemasaran digital. “Sebetulnya petani di daerah itu ngiri sama kita (warga kota), pasarnya di kita. Mereka tanem banyak, banyak tengkulak,” jelasnya.
Untuk bisa sampai ke kota, bahan pangan melewati jalur distribusi yang cukup panjang. Hal tersebut membuat harga komoditas sayur dan buah melonjak naik apalagi jika terjadi penimbunan. Untuk memutus jalur distribusi tersebut, Rizal memiliki solusi untuk menghubungkan petani langsung kepada konsumen dengan cara pemasaran digital.
Hal itu tentunya memiliki banyak kelebihan salah satunya adalah untuk menjaga stabilitas ketahanan pangan, serta menjaga kualitas kesegaran sayur dan buah dari petani kepada pembeli karena tidak melewati jalur distribusi yang panjang.
Selain teknologi IOT, dengan adanya Smart Farming memungkinkan bagi para petani untuk bertahan ditengah musim kemarau seperti sekarang ini. Dampak dari intensitas tinggi matahari dan kurangnya ketersediaan air bisa ditekan dengan menciptakan naungan paranet serta irigasi tetes. Selain itu adapun cara untuk menyiasati penghematan air adalah dengan menyiram tanaman pada saat sore menjelang malam.
Kemudian dengan adanya peran media digital ini membantu menjaga tali silaturahmi para petani untuk saling menguatkan. “yang kedua adalah silaturahmi untuk menguatkan tadi, apinya jangan sampai padam, semangatnya jangan sampai hilang. Yaudah kita silaturahmi, kumpul di komunitas, komunitas IG, Facebook dan sebagainya. Oh ternyata ada yang lebih ekstrim lagi lho dibanding kita, jadi kita nggak sendirian,” jelas Rizal.
Tidak hanya fokus menjadi petani kota tetapi ia juga sedang gencar untuk mengedukasi masyarakat terutama gen Z agar tertarik dengan dunia pertanian. Kemudian juga ia ingin mengedukasi teman-teman mahasiswa, akademisi, terutama yang kuliah di jurusan pertanian.
Selain menargetkan edukasi kepada mahasiswa dan masyarakat, Rizal juga mengincar anak usia dini untuk diberikan edukasi mengenai pertanian. Rizal menekankan bahwa pertanian tidak hanya menguntungkan tetapi juga mengasyikan
Rizal mengatakan bahwa ingin mengedukasi anak-anak sejak dini sehingga mengetahui setiap sayuran dan buahan yang pernah dimakan sehari-hari. Selanjutnya Rizal berharap agar kedepannya ia mampu menyeimbangkan antara argibisnis dengan agrikultur. Karena jika hanya memikirkan agribisnis untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, maka nilai agrikultur akan hilang sehingga orang lupa memikirkan kelangsungan hidup.
“Kalau kultur orang petani Itu kan gotong royong, musyawarah mufakat, kemudian petani itu kadang-kadang, apa ya berdoa gitu kan semoga besok bisa panen. Sekarang kan kalau bisnis udah gak denger itu. Yang penting untungan kalau bisnis, jadi jauh tuh dari kata-kata kulturnya, udah hilang, terkikis. Kita tetap berbisnis tapi tidak membuang kulturnya,“ ungkapnya.